Laman

Kamis, 31 Maret 2011

PERBANDINGAN ARBITASE DAN LIGITASI

PERBANDINGAN ARBITASE DAN LIGITASI

Perbedaan antara Mediasi (ADR) dengan Litigasi/Arbitrase

Mediasi                                   Litigasi/Arbitrase
·         jika kesepakatan hasil mediasi dilanggar, harus ajukan gugatan, tidak bisa langsung eksekusi; 
jika putusan tidak dilaksanakan, dapat diminta eksekusi ke pengadilan;
·         pihak yang bersengketa membuat kesepakatan;
hakim/arbiter yang membuat putusan;
·         para pihak yang menentukan jalannya mediasi;
persidangan ditentukan oleh hukum acara yang berlaku;
·         kesepakatan merupakan restrukturisasi dari kontrak yang disengketakan;
keputusan didasarkan pada kontrak yang disengketakan;
·         win-win solution;
win-lose judgement;
·         cepat;
lama;
·         murah.
mahal.


Dasar hukum Arbitrase dan Mediasi
ü  Undang-undang No.30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa berlaku 12 Agustus 1999;
ü  Surat Edaran Mahkamah Agung No. 1/2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai (Eks Pasal 130 HIR/154 RBg).

JENIS ARBITASE :
ü  ~ institusional: BANI, ICC
ü  ~ad-hoc, UNCITRAL Rules
TEMPAT ARBITASE :
ü  ~ lokal: di Indonesia, walaupun rules, para Pihak, arbiternya asing
ü  ~ international: di luar Indonesia

Persamaan Litigasi di Pengadilan dan Arbitrase
ü  putusannya mengikat para pihak;
ü  ada yang menang dan ada yang kalah;
ü  ada hukum acara yang mengatur persidangan.

Jurisdiksi:
ü  Pengadilan: Pasal 118 HIR; segala jenis sengketa.
ü  Arbitrase: diperjanjikan sebelum atau sesudah timbul sengketa; sengketa bisnis saja.
ü  Mediasi: diperjanjikan sebelum atau sesudah timbul sengketa; segala jenis sengketa, kecuali yang tidak bisa diputuskan dengan kesepakatan, mis: pembagian harta gono-gini dengan mediasi, cerainya dengan putusan pengadilan

Keuntungan Arbitrase dibandingkan Litigasi di Pengadilan
ü  sidang tertutup untuk umum;
ü  prosesnya cepat (maksimal 6 bulan);
ü  putusannya final dan tidak dapat dibanding/kasasi;
ü  arbiternya dipilih oleh para pihak;
ü  arbiternya ahli dalam bidang yang disengketakan;
ü  arbiternya mempunyai integritas/moral yang tinggi (pada umumnya);
ü  walaupun biaya formalnya lebih mahal daripada biaya pengadilan, tetapi tidak ada ’biaya-biaya lain’;
ü  khusus di Indonesia, para pihak dapat mempresentasikan kasusnya dihadapan Majelis Arbitrase; dan Majelis Arbitrase dapat langsung meminta klarifikasi dari para pihak;
ü  dissenting opinion.

Kelemahan Arbitrase dibandingkan Litigasi di Pengadilan
Tidak mempunyai kekuatan untuk eksekusi putusan, jika pihak yang kalah tidak mau secara sukarela memenuhi putusan arbitrase.

Mediasi merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa sebagai terobosan atas cara-cara penyelesaian tradisional melalui litigation (berperkara di pengadilan). Mediasi berarti menengahi atau penyelesaian sengketa melalui penengah (mediator). Dengan demikian sistem mediasi, mencari penyelesaian sengketa melalui mediator (penengah). Mediatornya disini kita sebut saja misalnya pengadilan. Dimana dengan sistem ini kedua  pihak  yang bersengketa datang bersama secara pribadi saling berhadapan antara satu dengan yang lain. Kedua pihak berhadapan langsung dengan mediator dimana mediator merupakan pihak ke tiga dimana mediator disini tidak memihak pihak manapun bisa dikatakan pihak ke tiga atau mediator haruslah netral.
Penyelesaian yang hendak diwujudkan dalam mediasi adalah compromise atau kompromi di antara kedua pihak. Dalam mencari kompromi, mediator memperingatkan, jangan sampai salah satu pihak cenderung untuk mencari kemenangan. Karena apabila hal tersebut terjadi keduanya hanya akan terjebak, pada yang dikemukakan Joe Macroni Kalau salah satu pihak ingin mencari kemenangan, akan mendorong masing-masing pihak menempuh jalan sendiri (I have may way and you have your way). Akibatnya akan terjadi jalan buntu (there is no the way). Ya, untuk apa kita menggunakan mediator kalau kedua pihak tidak mengikuti prosedur yang ada. Jika diibaratkan, untuk apa kita menggunakan jasa perahu kalau kedua pihak bermaksud mendapatkan keuntungan lebih dengan berenang sehingga lebih cepat untuk mendapatkan ikan. Cara dan sikap yang seperti itu, bertentangan dengan asas mediasi.
Memang banyak persamaan prinsip antara arbitrase dengan sistem alternatif yang lain, seperti sederhana dan cepat (informal dan quick), prinsip konfidensial, diselesaikan oleh pihak ketiga netral yang memiliki pengetahuan khusus secara profesional.
Namun, demikian, di balik persamaan itu terdapat perbedaan dianggap fundamental, sehingga dunia bisnis lebih cenderung memiliki mediation, minitrial atau adjusdication. Mediasi bertujuan untuk mencapai kompromi yang maksimal. sedangkan kompromi sendiri, kedua pihak sama-sama menang atau win-win, oleh karena itu tidak ada pihak yang kalah atau losing dan tidak ada yang menang mutlak.
Perbedaan yang dianggap fundamental, antara lain dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut:
1.      Masalah biaya, dianggap sangat mahal (expensive). Biaya yang harus dikeluarkan penyelesaian arbitrase, hampir sama adengan biaya litigasi di pengadilan. Terdapat beberapa komponen biaya yang harus dikeluarkan, sehingga terkadang jauh lebih besar biaya dengan apa yang harus dikeluarkan bila perkara diajukan ke pengadilan. Komponen biaya atrbitrase terdiri dari:
a.       Biaya administrasi
b.      Honor arbitrator
c.       Biaya transportasi dan akomodasi arbitrator
d.      Biaya saksi dan ahli.
Komponen biaya yang seperti itu, tidak ada dalam mediasi atau minitrial. Jika pun ada biaya yang harus dikeluarkan, jauh lebih kecil. Apalagi mediasi, boleh dikatakan tanpa biaya atau nominal cost.

2.      Masalah sederhana dan cepat. Memang benar salah satu prinsip pokok penyelesaian sengketa melalui arbitrase adalah informal procedure and can be put in motion quickly. Jadi prinsipnya informal dan cepatI. Tetapi kenyataan yang terjadi adalah lain. Tanpa mengurangi banyaknya sengketa yang diselesaikan arbitrase dalam jangka waktu 60-90 hari, Namun banyak pula penyelesaian yang memakan waktu panjang. Bahkan ada yang bertahun-tahun atau puluhan tahun. Apalagi timbul perbedaan pendapat mengenai penunjukkan arbitrase, Rule yang disepakati atau hukum yang hendak diterapkan (governing law), membuat proses penyelesaian bertambah rumit dan panjang.

Kelebihan tersebut antara lain:
1.      Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak
2.      Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena prosedural dan administratif;
3.      Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil;
4.      Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan
5.      Putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) yang sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.
Arbitrase secara umum dapat dilakukan dalam penyelesaian sengketa publik maupun perdata, namun dalam perkembangannya arbitrase lebih banyak dipilih untuk menyelesaikan sengketa kontraktual (perdata). Sengketa perdata dapat digolongkan menjadi:
1.      Quality arbitration, yang menyangkut permasalahan faktual (question of fact) yang dengan sendirinya memerlukan para arbiter dengan kualifikasi teknis yang tinggi.
2.      Technical arbitration, yang tidak menyangkut permasalahan faktual, sebagaimana halnya dengan masalah yang timbul dalam dokumen (construction of document) atau aplikasi ketentuan-ketentuan kontrak.
3.      Mixed arbitration, sengketa mengenai permasalahan faktual dan hukum (question of fact and law).

Manfaat menggunakan sistem mediasi, antara lain:
1.      Penyelesaian cepat terwujud (quick). Rata-rata kompromi di antara pihak sudah dapat terwujud dalam satu minggu atau paling lama satu atau dua bulan. Proses pencapaian kompromi, terkadang hanya memerlukan dua atau tiga kali pertemuan di antara pihak yang bersengketa.
2.      Biaya Murah (inexpensive). Pada umumnya mediator tidak dibayar. Jika dibayarpun, tidak mahal. Biaya administrasi juga kecil. Tidak perlu didampingi pengacara, meskipun hal itu tidak tertutup kemungkinannya. Itu sebabnya proses mediasi dikatakan tanpa biaya atau nominal cost.
3.      Bersifat Rahasia (confidential). Segala sesuatu yang diutarakan para pihak dalam proses pengajuan pendapat yang mereka sampaikan kepada mediator, semuanya bersifat tertutup. Tidak terbuka untuk umum seperti halnya dalam proses pemeriksaan pengadilan (there is no public docket). Juga tidak ada peliputan oleh wartawan (no press coverage).
4.      Bersifat Fair dengan Metode Kompromi. Hasil kompromi yang dicapai merupakan penyelesaian yang mereka jalin sendiri, berdasar kepentingan masing-masing tetapi kedua belah pihak sama-sama berpijak di atas landasan prinsip saling memberi keuntungan kepada kedua belah pihak. Mereka tidak terikat mengikuti preseden hukum yang ada. Tidak perlu mengikuti formalitas hukum acara yang dipergunakan pengadilan. Metode penyelesaian bersifat pendekatan mencapai kompromi. Tidak perlu saling menyodorkan pembuktian. Penyelesaian dilakukan secara:
(a) informal,
(b) fleksibel,
(c) memberi kebebasan penuh kepada para pihak mengajukan proposal yang diinginkan.
5.      Hubungan kedua belah pihak kooperatif. Dengan mediasi, hubungan para pihak sejak awal sampai masa selanjutnya, dibina diatas dasar hubungan kerjasama (cooperation) dalam menyelesaikan sengketa. Sejak semula para pihak harus melemparkan jauh-jauh sifat dan sikap permusuhan (antagonistic). Lain halnya berperkara di pengadilan. Sejak semula para pihak berada pada dua sisi yang saling berhantam dan bermusuhan. Apabila perkara telah selesai, dendam kesumat terus membara dalam dada mereka.
6.      Hasil yang dicapai WIN-WIN. Oleh karena penyelesaian yang diwujudkan berupa kompromi yang disepakati para pihak, kedua belah pihak sama-sama menang. Tidak ada yang kalah (lose) tidak ada yang menang (win), tetapi win-win for the beneficial of all. Lain halnya penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Pasti ada yang kalah dan menang. Yang menang merasa berada di atas angin, dan yang kalah merasa terbenam diinjak-injak pengadilan dan pihak yang menang.
7.      Tidak Emosional. Oleh karena cara pendekatan penyelesaian diarahkan pada kerjasama untuk mencapai kompromi, masing-masing pihak tidak perlu saling ngotot mempertahankan fakta dan bukti yang mereka miliki. Tidak saling membela dan mempertahankan kebenaran masing-masing. Dengan demikian proses penyelesaian tidak ditunggangi emosi.


Secara garis besar dapat dikatakan bahwa penyelesaian sengketa dapat digolongkan dalam 3 (tiga) golongan, yaitu:
1.      Penyelesaian sengketa dengan menggunakan negosiasi, baik yang bersifat langsung (negtation simplister) maupun dengan penyertaan pihak ketiga (mediasi dan konsiliasi),
2.      Penyelesaian sengketa dengan cara litigasi, baik yang bersifat nasional maupun internasional.
3.      Penyelesaian sengketa dengan menggunakan arbitrase, baik yang bersifat ad-hoc yang terlembaga.



Sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar